HIPOKSIA
Mendaki gunung adalah sebuah kombinasi yang harmonis
dan unik sekaligus menyenangkan antara hal menyalurkan hobi berpetualang di
alam bebas di satu sisi dengan olahraga dan olahrohani di sisi yang lain ,
walau segala penghalang kerap menjadi batu sandungan dalam kegiatan tersebut.
Namun yang harus selalu kita ingat adalah banyak haling rintang, hambatan,
bahaya dan resiko yang kerap mengancam keselamatan kondisi jamasni phisik dan
rohani (psikis) kita.seandainya kita tidak peka, tidak cermat dan cepat tanggap
dalam mengkondisikan kemampuan dan kesehatan raga dan faktor ketenangan
kejiwaan kita sendiri. Dari berbagai resiko tersebut ada satu penyakit yang
bisa menimpa para penggiat alam bebas pendakian gunung, yakni *HIPOKSIA* ,
karena pada hakikatnya Mendaki gunung tentu akan menempatkan tubuh kita akan
dominan dan sering berada di atas ketinggian yang ekstrim. Berada di ketinggian
tentu akan mudah memicu hipoksia karena terbatasnya oksigen.
Dari beberapa pengamatan dan data-data evaluasi pada
kasus-kasus kecelakaan di gunung ada dua faktor yang sering terjadi. Pertama,
efek hipoksia ( kekurangan oksigen ) pada tubuh. Kedua, efek fisik dari
ketinggian dari permukaan laut, seperti suhu dan radiasi ultraviolet. Tapi, hal
yang terakhir ini jarang terjadi pada pendaki gunung. Kecuali misalnya
kekurangan energi ( makan yang cukup ), kedinginan, kecelakaan yang
mengakibatkan benturan dan pendarahan yang hebat.
PROSES GEJALA HIPOKSIA :
Proses hipoksia timbul secara perlahan. Bahkan sering
terjadi seorang pendaki gunung yang terlalu lama dalam perjalanan pendakian
(ekspedisi pegunungan) , sesampainya di rumah ternyata tubuhnya tidak bisa atau
sulit menerima perubahan suhu (RE-ADAPTASI) . Hipoksia yang terjadi berjalan
agak lama. Tentu saja hal ini akan mengganggu proses pernapasan yang dilakukan
paru - paru..
JADI MAKHLUK APAKAH HIPOKSIA ITU???
Berdasarkan sejumlah literatur kedokteran, hipoksia
adalah kondisi gejala kekurangan oksigen pada jaringan tubuh yang terjadi
akibat pengaruh perbedaan ketinggian. Semakin tinggi suatu tempat dari
permukaan laut, kadar oksigen yang terkandung di dalam udara semakin tipis.
Kerja organ tubuh terutama sistem pernafasan yang membutuhkan pasokan oksigen
akan lebih banyak.
Berdasarkan beberapa penelitian medis (ilmu
kedokteran) dapatlah dijelaskan bahwa sebenarnya keseimbangan tubuh manusia
selalu dijaga dan diatur oleh system kardiovaskuler (system jantung) dan system
pernafasan. Kondisi hipoksia terjadi jika kita mengalami kerusakan pada sistem
jantung, pembuluh darah dan sistem pernafasan,
Selain berada di ketinggian, berada di ruangan
tertutup tanpa sirkulasi udara yang baik, atau di ruangan yang bersirkulasi
udara baik tetapi dipenuhi asap rokok juga bisa menyebabkan gangguan hipoksia.
Dalam sebuah Penelitian desertasi doktor seorang ahli
penyakit dalam membuktikan bahwa kondisi hipoksia menyebabkan terjadinya luka
pada lambung berupa terjadinya ulkus. Gangguan yang terjadi pada organ akibat
hipoksia dijelaskan baik secara kelainan organ melalui pemeriksaan
histopatologi baik secara langsung maupun pemeriksaan imunohistokimia.
Untuk itu para pendaki gunung harus mengenali tanda -
tandanya, serta cara mengatasi jika mengalami kondisi tersebut. Tanda - tanda
hipoksia atau kekurangan oksigen antara lain pandangan kabur, pernapasan makin
cepat atau tersengal -sengal, serta tubuh menjadi lemas.
Frekuensi pernapasan yang meningkat terjadi karena
tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen. Tidak hanya memaksa paru - paru
bekerja lebih keras, kondisi ini juga mempengaruhi jantung yang harus bekerja
keras memompa oksigen dalam darah yang hanya sedikit itu untuk didistribusikan
ke seluruh tubuh.
Selain dari gejala fisik, kondisi Hipoksia juga bisa
dikenali dari perubahan perilaku. Dalam kondisi hipoksia, otak juga akan
kekurangan oksigen sehingga pola pikir seorang pendaki berubah menjadi kacau
dan sulit membuat keputusan yang tepat.
Dalam keadaan hipoksia, yang dominan hanya emosi dan
ini sangat mempengaruhi pengambilan keputusan. Makanya para pendaki sering
tersesat, salah satunya karena otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup untuk
bisa bekerja dengan baik.
LEVEL (TINGKAT) KEPARAHAN HIPOKSIA :
1. HIPOKSIA FULMINAN :
Adalah sebuah kondisi saat dimana terjadi pernapasan yang sangat cepat. Paru - paru menghirup udara tanpa adanya udara bersih ( oksigen ). Sering dalam waktu satu menit akan jatuh pingsan.
Adalah sebuah kondisi saat dimana terjadi pernapasan yang sangat cepat. Paru - paru menghirup udara tanpa adanya udara bersih ( oksigen ). Sering dalam waktu satu menit akan jatuh pingsan.
2. HIPOKSIA AKUT :
Terjadi pada udara yang tertutup akibat keracunan karbon monoksida. Misalnya, seorang pendaki gunung tiba - tiba panik takkala udara belerang datang menyergap. Udara bersih tergantikan gas racun, akhirnya paru - paru tak kuasa menyedot udara bersih. Mendadak ia pingsan.
Terjadi pada udara yang tertutup akibat keracunan karbon monoksida. Misalnya, seorang pendaki gunung tiba - tiba panik takkala udara belerang datang menyergap. Udara bersih tergantikan gas racun, akhirnya paru - paru tak kuasa menyedot udara bersih. Mendadak ia pingsan.
HIPOKSIA DAPAT DIHINDARI/DICEGAH DAN DITOLONG :
Hipoksia sebenarnya dapat dihindari oleh para pendaki
gunung atau siapapun juga., Para pendaki gunung yang berpengalaman biasanya
telah melakukan adaptasi dengan ketinggian. Namun untuk orang yang memiliki
permasalahan pada pembuluh darahnya baik pada pembuluh darah otak maupun
pembuluh darah jantung, hipoksia akan menyebabkan jantung akan mengalami
iskemia (kekurangan oksigen) bahkan sampai terjadinya infark (kematian
jaringan). Begitu pula pada orang yang sudah mempunyai permasalahan pembuluh
darah otak maka kekurangan oksigen juga akan lebih memperburuk penurunan
oksigen pada otak sehingga korban menjadi tidak sadar. Organ-organ lain juga
jelas akan mengalami gangguan jika terjadinya hipoksia.
Pada orang-orang yang memang sudah biasa tinggal pada
daerah pada ketinggian atau daerah dengan kadar oksigen rendah, biasanya tubuh
sudah dapat mentoleransi (mengadaptasi). Tetapi, adaptasi ini ada batasnya dan
jika kondisi ini terus terjadi tetap akan membahayakan jiwa. Salah satu contoh
kasus adalah musibah yang dialami oleh almarhum WAMEN ESDM ( Prof. Dr Widjajono
Partowidagdo).
Beliau tewas saat mendaki Gunung Tambora di Pulau
Sumbawa, Nusa Tenggara Barat pada Sabtu (21 April 2012). Penyebab pasti
kematian wamen yang baru bertugas selama enam bulan itu diduga karena sesak
nafas akibat kekurangan oksigen. Faktor usia Widjajono (61) juga berpengaruh
kuat. Karena pada umumnya orang dengan usia lanjut maka potensi terganggunya
saluran di pembuluh darah sangat tinggi. Dengan aktivitas berat dengan medan
pendakian yang sering kali ekstrim saat mendaki gunung ditambah pasokan oksigen
yang tipis, hipoksia dapat berakibat fatal yakni kematian.
Namun menurut diagnose dr Phaidon L Toruan, sarjana
kedokteran lulusan Universitas Padjajaran Bandung, dalam blognya menulis,
Widjajono yang berpengalaman mendaki gunung Fuji, Himalaya, Kilimanjaro, tentu
sudah mengukur dirinya saat sebelum pendakian ke Gunung Tambora di Kabupaten
Dompu Bima engan ketinggian 2.850 mdpl.
Menurut Phaidon, sesak nafas yang dialami Wamen
Widjajono bisa disebabkan oleh kurangnya oksigen dan bisa juga merupakan salah
satu tanda serangan jantung. Dua gejala terkait gejala serangan jantung adalah
Angina (rasa nyeri seperti ditekan di bagian dada), dan Aritmia (gangguan irama
jantung yang dapat menyebabkan palpitasi ataudenyut jantung yang abnormal).
Kedua kondisi ini, Angina dan aritmia terjadi karena
kurangnya pasokan darah yang membawa oksigen ke otot jantung. Biasanya diikuti
oleh gejala lain seperti pusing, letih yang berkepanjangan, mual, berkeringat
dingin, dan sesak nafas. Gejala tersebut merupakan pertanda awal serangan
jantung. Hanya saja gejala tersebut dianggap sebagai masuk angin. Terlebih,
kalau ada proses pendakian di gunung yang memang cuacanya dingin. Akibatnya
pertolongan pertama seringkali terlambat diberikan.
Serangan jantung menghentikan suplai oksigen ke otot
jantung menyebabkan otot-otot jantung akan mati sewaktu tidak mendapatkan
darah. otot jantung beda dengan otot lain yang tidak dapat mengalami
regenerasi. Kalau semakin lama gejala yang menunjukkan serangan ini tidak
diatasi, akan semakin banyak kerusakan permanen pada otot-otot jantung dan bahkan
jika terus dibiarkan dapat mengalami kematian.
Dalam konteks kejadian yang dialami Wamen ESDM,
Phaidon menyebutkan dengan usia yang mencapai 61 tahun kapasitas fisik,
termasuk fungsi jantung dan paru menurun. Apalagi jika tidak diimbangi dengan
gaya hidup sehat.
Pertolongan pertama ketika menghadapi kondisi ini
tentu saja dengan memberikan oksigen. Tabung oksigen berukuran kecil yang bisa
dibawa ke mana - mana sangat mudah diperoleh di apotek dengan harga terjangkau,
sehingga tidak ada salahnya para pendaki melengkapi diri dengan alat ini.
Jika tabung oksigen belum cukup menolong, maka semua
pakaian harus dilonggarkan agar pernapasan menjadi lebih lancar. Kerah baju
harus dibuka, ikat pinggang dilepas dan juga bra pada perempuan mau tidak mau
harus dilepas supaya saluran napasnya tidak sesak.
Namun yang terpenting dari semua itu adalah, sesegera
mungkin pendaki yang mengalami hipoksia harus dibawa ke lokasi yang lebih
rendah supaya mendapat oksigen lebih banyak dari udara pernapasan. Makin lama
berada dalam kondisi hipoksia, makin besar resiko kerusakan organ karena tidak
mendapat suplai oksigen.
Daya tahan seseorang saat berada dalam kondisi
hipoksia sangat beragam, salah satunya dipengaruhi oleh kadar sel darah merah
serta hemoglobin. Orang - orang yang sehari - hari tinggal di gunung secara
alamiah lebih tahan terhadap hipoksia karena sel darah merahnya lebih banyak.
Untuk mencegah dampak buruk dari hipoksia, para pendaki gunung yang sebelumnya
mengidap penyakit jantung, pernapasan clan sirkulasi darah dianjurkan untuk
tidak mencapai ketinggian yang melebihi daya tahan tubuh,
Maka sebagai penutup mari kita semua para pendaki dan
penggiat alam terbuka, sebelum mendaki gunung alangkah baiknya masing-masing
kita agar terlebih dahulu memeriksa kondisi kesehatan tubuh kita .
SALAM DAMAI GUNUNG-RIMBA-LAUT & ALAM SEMESTA
LESTARI
0 komentar:
Posting Komentar